Soal Saracen Prabowo dan SBY Bungkam, Membongkar Kekuatan yang Perangi Jokowi
Saracen terkuak, Prabowo dan SBY diam
bungkam seribu bahasa, tidak merasa jengah. Padahal Saracen memroduksi
kata, meme, narasi, hoax, berita palsu, dan fitnah, yang
mengancam keutuhan NKRI, dan bertujuan memecah-belah. Publik lelah.
Rakyat jengah. Energi bangsa hilang terlalu banyak tercurah, musnah.
Soal Ahok mereka berteriak-teriak kesetanan menuntut keadilan dengan
pongah. Soal kasus chat porno Rizieq, mereka diam bersimpuh menerapkan
standard ganda, sifat SBY dan Prabowo yang tidak pernah berubah.
Bagi orang waras, tak ada kata selain kata
gundah. Politikus semprul bermain dengan segala nafsu jadah. Tujuan
mereka jelas demi nafsu kekuasaan kaum sumbu pendek, pengkhianat bangsa,
penjahat politik, koruptor, teroris, Islam radikal, yang selalu
gelisah.
Menguliti Saracen adalah sebagian dari
gambaran kekuatan (baca: kelemahan) Prabowo – dan kongsi anehnya – si
SBY yang selalu jiwanya tak terpuasi, gundah. Saracen adalah gerakan dan
sindikat kaki tangan para politikus cerdas yang memanfaatkan dan
dimanfaatkan secara simbiosis mutualisma, yang bergerak tanpa kenal
lelah, apalagi menyerah.
Uang Berlimpah
Kekuatan uang yang dimiliki oleh Prabowo
dan SBY hampir tidak terbatas, dengan angka yang tentu sangat wah. Kroni
SBY dan Prabowo secara bersama-sama menguasai hampir seluruh denyut
nadi kekuatan ekonomi yang menyebar tidak hanya di Jakarta, namun juga
di seluruh daerah.
Keluarga Prabowo dan adiknya, Hashim
Djodjohadikusumo, merupakan keluarga dengan nilai kekayaan sangat
melimpah. Diperkirakan kekayaan keluarga ini mencapai puluhan miliaran
dollar, yang setiap tahun selalu bertambah. Isu tentang hutang
perusahaan mereka tidak pernah benar-benar terbukti secara sah.
Uang berlimpah ini masih lebih banyak lagi
karena SBY selama 10 tahun berhasil membangun kroni politik dan bisnis
yang digawangi si rambut putih, Hatta Rajasa, dengan Reza Chalid si
mafia migas yang bersimaharajalela di semua bisnis dan ranah. Tak kurang
selama puluhan tahun diperkirakan KKN di Petral dan industri migas,
merugikan Negara dalam jumlah angka sebesar 3,000 triliun, dalam rupiah.
Kekuatan uang ini masih terus ditambah.
Jusuf Kalla dan kelompok Golkar, ARB, keluarga Cendana, para cukong dan
taipan, HT yang sedikit kehilangan arah dan darah, adalah jaminan mutu
kekuatan yang tak bisa dianggap remeh-temeh dan dengan mata sebelah.
Bergabungnya para saudagar itu semakin
menguatkan kekuatan aliansi berdasarkan kepentingan ambisi, kekuasaan,
yang ujungnya uang, duit, dan dollar serta rupiah. Tidaklah mereka
mengenal selain kepentingan pribadi, golongan, partai, keluarga dan
trah.
Kepentingan negara buat mereka hanya hiasan dan tipuan intrik yang bunyinya indah. Slogan kampanye TV ala SBY seperti Katakan Tidak Pada Korupsi, yang maknanya sebenarnya, Ayo Korupsi Agar Hidup Mewah!
Maka dalam bingar kampanye politik,
pilkada, pilpres 2014,pilkada DKI Jakarta 2017, tidak ada berita tentang
kekurangan dana, atau pengumpulan dana kampanye, yang membuat pendukung
mereka lemah atau gelisah. Bagi mereka, uang tidak dan bukan masalah.
Uang menjadi kekuatan yang dianggap oleh mereka tak akan bisa membuat
mereka kalah.
Dengan bejibunnya dollar dan rupiah, maka
kampanye terfokus kepada strategi dan adu kekuatan, hampir tidak
mengenal kata lemah, tidak membicarakan rupiah. Mereka dan para
pendukung mereka tampil dengan kepercayaan tinggi dan yakin menang,
tidak ada kata dan pesimisme akan kalah.
Strategi Pecah Belah
Strategi politik yang dipilih oleh Prabowo
dan SBY identik, sama dan searah. Bagi mereka tujuan menghalalkan
segala cara, tentang cara, tak ada cara yang salah. Salah satunya adalah
dengan mengusung politik identitas Islam yang salah kaprah.
Warna strategi politik itu dipraktikkan
sejak kampanye Pilgub DKI 2012. Rhoma Irama dan partai agama PKS memulai
dengan kampanye di masjid-masjid dengan isu SARA yang melimpah. Media
sosial penuh berisi ujaran kebencian, hoax, fitnah yang bisa membuat orang muntah.
Embrio politik identitas Islam ini gagal
dimenangkan oleh si wani piro Hidayat Nur Wahid dan Fauzi Bowo, karena
Gerindra dan PDIP mendukung Jokowi-Ahok, membuang FPI dan Islam radikal
yang hanya dipeluk oleh partai agama PKS, dengan Islam moderat pun
terpecah.
Pilpres 2014 adalah gambaran nyata betapa
politik identitas Islam didorong untuk menjadi alat kampanye yang
lumrah, karena takut kalah. Caranya, Prabowo dan SBY saling mendukung,
menyudutkan Jokowi dengan segala macam suara sumbang tentang Islam-nya
Jokowi, juga kebencian, hoax, sampai menerbitkan Obor Rakyat, yang berisi fitnah.
Kelicikan SBY bagi Prabowo Jadi Berkah
SBY pun adalah aktor licik politik
identitas Islam untuk memecah-belah. Caranya, SBY menyatakan diri tidak
berpihak dan partainya menjadi partai penyeimbang, ada di
tengah-tengah. Ini sikap penuh muslihat, alat bagi SBY untuk bertindak
semaunya dan bermanuver dari dua arah.
Sikap paling menonjol kelicikan SBY ini
adalah menjadi inisiator pemilihan kepala daerah, gubernur, bupati,
walikota, dipilih oleh DPRD di daerah. Harapannya, dengan hanya para
anggota DPRD yang menentukan pemimpin daerah, maka kemenangan KMP dalam
pilkada menjadi begitu mudah.
Selain itu tentu publik ingat abuse of power
SBY dengan UU MD3 yang menjadi alat menyingkirkan PDIP sebagai pemenang
pemilu hingga gagal menempati kursi pimpinan parlemen dan MPR, meskipun
sebuah.
Ini adalah awal politik pecah-belah dengan
strategi SBY ada di tengah-tengah. Sesungguhnya omongan SBY tentang
partai penyeimbang itu hanyalah sampah. Dia selalu memihak, bersikap
banci, dan selalu mencari-cari celah.
Puncak polarisasi politik itu, dengan
posisi pro Jokowi dan pro Prabowo, dengan kompor dan provokasi SBY,
terjadi di Pilkada DKI 2017 yang begitu keras dan berdarah-darah.
Penyebabnya adalah Prabowo dan SBY serta pendukung mereka frustasi
akibat Pilpres 2014, Prahara kalah.
Kekalahan Prahara adalah kegagalan SBY
memiliki kroni Hatta Rajasa, besannya – karena Prabowo-Hatta kalah.
Jelas SBY mendendam dan bersumpah tak akan lagi kalah. Semua strategi
dan cara akan ditempuh untuk menang, meskipun berdarah-darah.
Gandeng Islam Radikal
Frustasi akibat kalah di Pilpres 2014, dan
kehancuran koalisi Prabowo bernama KMT – akibat membelotnya Golkar ke
Jokowi – membuat SBY dan Prabowo menengok dan menggandeng Islam radikal
dan ormas lain agar tidak kalah. Ini juga buah kelicikan SBY yang sudah
menanamkan kekuatan Islam radikal seperti HTI, FPI, FUI dan lainnya yang
suatu saat bisa digunakan untuk berkiprah.
Momentum itu muncul di Pilkada DKI 2017
yang penuh dengan kampanye hoax, isu SARA, mayat dan ayat, serta fitnah.
SBY dan Prabowo lebih gembira lagi karena kasus Ahok membuat Jusuf
Kalla, ARB, Bude Titiek, dan bahkan Om Tommy, dan kalangan Islam garis
keras, bersatu padu menggempur Ahok dengan segala cara baik, buruk,
legal, atau pun sah. Semua cara ditempuh tanpa kenal lelah.
Selain itu, tidak hanya partai agama PKS
saja yang melakukan pengaderan melalui majelis taklim dan masjid-masjid,
SBY pun membuat majelis taklim Demokrat, dengan dana luar biasa besar,
untuk membangun kesetiaan di berbagai provinsi dan wilayah. Ini
memberikan kekuatan basis pendukung fanatik bagi Demokrat – dan pada
gilirannya aliansi dengan Prabowo dianggap akan kokoh dan tak akan
goyah.
(Pasca kemenangan Islam radikal di DKI 2017, bahaya politik identitas Islam ini pernah disampaikan secara langsung oleh one of the Operators
kepada Prabowo, karena bahaya bagi NKRI bisa terpecah-belah. Peringatan
itu tampaknya tidak digubris karena dia beranggapan Islam radikal
adalah trend politik yang sedang naik daun dan menjadi berkah.
Peringatan sebagai sesama politikus yang
sama-sama paham, bahwa merangkul Islam radikal akan sulit kembali
membuang mereka ketika kepentingan sudah diraih dengan susah payah.
Islam radikal akan menjadi benalu bagi yang memerintah. Prabowo abai
terhadap peringatan ini karena merasa kemenangan Pilkada DKI adalah
jalan menuju kemenangan Pilpres 2019 yang tinggal selangkah.)
Militansi Koalisi Pendukung
Prabowo dan SBY didukung oleh para
pendukung yang fanatik, sumbu pendek, militan, gigih tanpa kenal
menyerah. Para simpatisan Prabowo dengan Gerindra, pendomplengan wani
piro ala partai agama PKS, menawarkan loyalitas yang tak pernah patah.
Mereka membutakan diri mereka dengan segala informasi yang mereka cerna
dan kunyah.
Hanya informasi penuh intrik dari kelompok
merekalah yang dianggap benar, sahih, dan sah. Berita benar dari selain
sumber mereka dianggap sampah. Itulah sebabnya untuk memecah dan
memengaruhi sikap politik dan menjauhkan polarisasi dua kubu, mustahil
atau sangatlah susah.
Berbekal militansi itu, maka diperlukan
corong strategis untuk selalu memelihara pendukung selama 5 tahun, sejak
mereka kalah, sampai 2019 nanti dengan tekad bulat tak mau kalah. Untuk
itu Fadli Zon dan Fahri Hamzah dipasang untuk berkoar dengan cara
nyinyir terhadap Jokowi dan prestasi Jokowi, semua hal dan pencapainnya
dianggap sebagai sampah. Dengan cara demikian, imej, kesan yang terpatri
adalah Jokowi tidak layak memerintah.
Saracen dan Media Sosial Pemecah Belah
Salah satu strategi paling efektif untuk
memertahankan status quo dukungan adalah dengan cara politik identitas
yang memang memecah-belah. Untuk memertahankan status quo tersebut, maka
Parbowo menyewa media strategist bernama Noudhy Valdryno, Robb Allyn,
hingga Denny JA, dan Eep Saefullah Fatah.
Kemenangan Anies Sandi pun tak bisa lepas
dari peran para media strategist yang bekerja keras tak mengenal lelah.
Hal ini masih didukung oleh pasukan cyber army warga partai agama PKS dan juga sebagian dari kalangan cyber
dari ormas, misalnya HTI, FPI, FUI, GNPF MUI, dan sebagian
Muhammadiyah. Fenomena penyebaran informasi bersatunya partai agama PKS
yang Ikhawanul Muslimin dan ormas lain yang salafi tampak aneh dan tidak
lumrah.
Saking hebatnya pendanaan, kekuatan
kohesif antar partai, sebaran berita fitnah yang mewabah, hingga
pemanfaatan kelemahan strategi lawan, membuat kejumawaan Prabowo dan SBY
membuncah. Secara blatant dan terang-terangan aliansi mereka itu muncul
ke permukaan, diketahui oleh publik, ketika pancingan testing the water Jokowi termakan secara mentah-mentah.
Itulah UU Pilpres 2019 dan Perppu Ormas
yang menghancurkan harapan kelanjutan kemenangan strategi Pilkada DKI
2017 membuat mimpi mereka musnah. Jelas mereka protes keras, jengkel,
kesal, darah mendidih, dan gundah. Maka tuduhan terhadap Presiden Jokowi
sebagai abuse of power pun disampaikan dengan nada kesal dan penuh amarah.
Kini, segala tabiat strategi politik yang
demikian mengerikan – dengan kampanye penuh kebencian dan memecah-belah –
pelan namun pasti terbuka dari berbagai arah. Perlawanan silent majority
yang mendukung penuh Polri, TNI, dan Presiden Jokowi untuk melawan
gerakan penghancuran terhadap NKRI, dan pemerintahan Jokowi yang sah.
Dukungan rakyat itu menjadi modal spirit
ketegasan bersama melawan Islam radikal, koruptor, teroris, mafia, dan
politikus bromocorah. Salah satu hasil paling spektakuler – namun bisa
menjadi boomerang jika tindakan tegas tidak dilakukan – adalah dibukanya
kedok Saracen produsen dan penyebar hoax, meme, narasi, cerita, dan
fitnah.
Tenggelamnya Kiprah Politik
Melihat aliansi kekuatan Prabowo dan SBY
seperti itu maka jelas relawan dan pendukung Jokowi dibuat khawatir,
takut, bahkan gundah. Kasus yang pernah digarap, dan mereka berhasil
seperti Pilkada DKI Jakarta, membuktikan kekuatan mereka yang begitu mighty, bersemangat, kuat dan tampak mustahil kalah.
(Kupasan kekuatan aliansi Prabowo dan SBY ini hanya sebagian kecil dari excerpt
matriks peta kekuatan yang berhasil didata dan disampaikan sederhana
agar bisa dipahami dengan mudah. Paparan ini belum membandingkan
strategi Jokowi dengan aliansi pengeroyokan Prabowo dan SBY yang tampak
kokoh namun sebenarnya rentan roboh. Ini semua tergantung kemampuan adu
strategi tim Jokowi dan Prabowo-SBY yang bagi orang awam menebaknya pun
begitu susah.)
Namun, dengan dibongkarnya Saracen terkait pendanaan, kepengurusan, keterlibatan mafia, koruptor, teroris, pengkhianat negara, kalangan partai, pengusaha hitam,politikus sampah, maka dapat dipastikan menjadi awal tersingkirnya praktek politik yang diprakkan politik seperti Prabowo dan SBY, yang tinggal menunggu perintah dari Atas, perintah dan titah. Salam bahagia ala saya, ah sudahlah.
sumber : seword.com/politik/soal-saracen-prabowo-dan-sby-bungkam-membongkar-kekuatan-yang-perangi-jokowi/
Komentar
Posting Komentar