Punya Laut Paling Luas Sedunia, Ini 4 Alasan Kenapa Indonesia Sampai Harus Alami Kelangkaan Garam
Di warung, garam biasanya satu plastik 2.000, sekarang jadi 5.000..”
Beberapa
waktu belakangan ini pasti kalian sering dengar keluhan ibu atau
saudara kalian soal mahalnya harga garam di warung, terutama di grup chat
keluarga. Ya, harga garam di beberapa wilayah di Indonesia memang
sedang mengalami kenaikan yang bikin pusing tujuh keliling, mulai dari
ibu rumah tangga sampai produsen makanan yang menggunakan garam sebagai bahan utamanya, seperti industri ikan asin.
Padahal kalau dipikir-pikir negara kita ini ‘kan negara maritim,
yang artinya sebagian besar wilayahnya adalah laut. Harusnya sih
produksi garamnya melimpah. Tinggal menguapkan air laut yang
memanfaatkan sinar matahari, garam pun bisa dihasilkan. Nah, kira-kira
kenapa bisa krisis ya? Yuk simak bareng Hipwee News & Feature dulu guys…
Anomali cuaca, salah satu faktor yang ‘dituduh’ jadi penyebab kenapa garam di Indonesia langka
Kalau kamu suka sebal karena cuaca akhir-akhir ini sering nggak menentu, kamu nggak sendirian guys.
Nah perubahan cuaca yang suka tiba-tiba ini dinamakan anomali cuaca.
Beberapa waktu belakangan ini, cuaca di Indonesia memang sedang ‘galau’.
Bulan-bulan yang seharusnya panas, justru hujan, atau sebaliknya.
Keadaan seperti ini memberikan dampak tertentu bagi beberapa pihak,
salah satunya industri garam. Garam sendiri butuh sinar matahari untuk
bisa diproduksi.
Cuaca yang lebih sering mendung atau hujannya ini jelas membuat stok
garam nasional menurun drastis. Panen petani garam di sejumlah daerah
jadi gagal terus. Pada 2016 kemarin, produksi garam nasional hanya
118.054 ton atau setara 3,7 persen saja dari target sebesar 3,2 juta
ton.
Tapi faktor cuaca ternyata nggak bisa disalahkan sepenuhnya, karena usut punya usut sarana infrastruktur di tambak garam juga katanya sih minim
Menurut Abdul Halim, mantan Sekjen Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA), ada
alasan lain di balik merosotnya produksi garam nasional, yakni minimnya
sarana prasarana di tambak garam. Seperti penerapan teknologi prisma
dan teknologi ulir filter (TUF) geomembran yang masih minim dan buruknya
akses air bersih dan sanitasi di lingkungan sekitar tambak. Untuk
faktor satu ini, kinerja pemerintah yang jadi sorotan. Pasalnya
banyaknya jumlah petambak garam di Indonesia yang mencapai 3 juta orang,
tidak dibarengi dengan perbaikan berbagai infrastruktur di dunia
pergaraman.
Sosialisasi tentang permodalan atau penggunaan
teknologi terdepan dalam produksi garam kepada para petani juga perlu
dilakukan, sambil melakukan harmonisasi kebijakan pergaraman. Ya intinya
sih banyak perbaikan soal garam yang jadi PR pemerintah supaya krisis
garam sebagai salah satu komoditas unggulan ini, dapat segera teratasi.
Meski dirasa merugikan banyak pihak, ternyata ada segelintir kelompok yang diuntungkan dengan krisis ini lho
Kalau
dilihat sih kelangkaan garam ini memang bikin ibu-ibu rumah tangga dan
industri makanan di sejumlah daerah gigit jari ya. Tapi nyatanya nggak
selamanya masalah cuma mendatangkan kerugian lho. Dalam kasus ini
misalnya, petani garam justru diuntungkan karena harga jual garam yang
tinggi di pasaran, mencapai 5-10 kali lipat. Mereka bisa menjual hasil
panen mencapai Rp3.500/kilogram, padahal sebelum krisis harganya hanya
Rp300-750/kilogram.
Tapi menurut Ketua Paguyuban Petani Garam Rakyat Sumenep (Perras), Hasan Basri, kondisi ini hanya menguntungkan secara jangka pendek. Dengan kata lain, petani tetap harus memikirkan dampak ke depannya.
Sejauh ini solusi yang terpikirkan cuma melakukan impor garam. Tapi sejumlah pihak justru menganggap impor sama saja dengan bunuh diri
Salah
satu orang yang menolak impor garam dijadikan solusi utama adalah Abdul
Halim, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan.
Dirinya mengatakan bahwa sebenarnya kebijakan tersebut kurang cocok
lantaran luas pertambakan garam nasional produktif terus meningkat, yang
sebelumnya 13.639 hektar menjadi 24.254 hektar, dan tersebar di 44
kabupaten/kota di Indonesia. Jadi sebenarnya Indonesia nggak butuh-butuh
banget untuk impor garam. Halim juga menambahkan kalau Juli-September
2017, panen garam rakyat akan dimulai. Lagipula, awal 2017 lalu
pemerintah sudah melakukan impor 70.000 ton garam dari India dan
Australia lho.
Hasan Basri juga ada di pihak yang kontra soal
impor ini. Bahkan menurutnya sebelum keluar kebijakan pemerintah tentang
impor, harga jual garam dari petani sudah sering anjlok. Lah apalagi
kalau sudah impor ya? Maka dari itu, Basri berharap pemerintah tidak
langsung ambil jalan pintas dengan melakukan impor sebesar-besarnya.
Polemik
garam ini memang cukup rumit sih. Karena untuk mengatasinya butuh kerja
sama dan semangat gotong royong dari banyak pihak. Semoga aja sih
pemerintah bisa menyinergikan segala kepentingan dari berbagai pihak,
biar sama-sama enak gitu~
Komentar
Posting Komentar