"Jlebh Banget... Penulis Buku ini Pertanyakan Siapakah Tuhan yang disembah Aa Gym.. Penjelasannya pun sangat Menampar.."
Semakin ke sini, saya kok semakin sedih dengan ustadz yang satu ini: Aa’ Gym. Rasa-rasanya, semakin berat untuk menyebutnya sebagai “kiyai”. Jangankan untuk memanggil “kiyai”, menyebutnya dengan panggilan “ustadz” saja kok saya ngelu sekali.
Saya jadi teringat kembali dengan salah satu buku yang saya tulis. Judulnya “Kidung Sholawat Zaki dan Zulfa”. Dalam buku ini, saya angkat dua sosok “kiyai” yang memiliki jalan hidup berbeda. Jalan hidup itu adalah pilihan masing-masing. Kiyai pertama, memilih jalan para pecinta, zuhud terhadap dunia, lapar kepada ridlo dan kasih Tuhan, hidup berdekatan dengan kaum mustadh’afin, tak bermain politik, dan tak ada pejabat-politisi-pengusaha dan orang-orang “wah” lain yang sudi mendekatinya.
Bertolak belakang dengan kiyai yang pertama ini, kiyai kedua sangatlah modis. Modern-lah. Kaya. Banyak menerima tamu, dari pejabat, politisi, hingga konglomerat. Suatu ketika kiyai ini harus menghadapi dilema batin. Seorang pengusaha bermaksud mengembangkan proyeknya, dan kongkalikong dengan pejabat setempat, untuk menggusur warga yang tinggal di seputaran pesantren kiyai yang pertama. Mudah ditebak, memang, jalan cerita dan kisah yang terjadi kemudian. Tetapi inti yang hendak saya maksud melalui cerita itu: Sering terjadi bahwa seseorang dapat dengan mudah menghancurkan idealismenya, kepercayaannya, keyakinannya, bahkan Tuhannya karena ia tidak bisa keluar dari lingkaran api yang ia kobarkan sendiri.
Apakah seperti itu yang terjadi dengan “kiyai” atau “ustadz” bernama Aa’ Gym ini? Oleh media, dulu, betapa ia dikenal dan menjadi popular namanya. Ceramah-ceramahnya yang sejuk, mendinginkan suasana di tengah gejolak emosi dimana-mana, praktis bahasanya yang tak muluk-muluk macam filosof yang kebingungan terhadap dirinya sendiri, selalu mengajak para pendengarnya untuk menjaga hati. O, membuat saya hendak menyanyi lagi:
Jagalah hati jangan kau kotori
Jagalah hati lentera hidup ini
Jagalah hati jangan kau nodai
Jagalah hati cahaya Ilahi
Bila hati kian bersih
Pikiranpun akan jernih
Semangat hidup nan gigih
Prestasi mudah diraih
Namun bila hati keruh
Batin selalu gemuruh
Seakan di kejar musuh
Dengan Alloh kian jauh
Managemen Qolbu, begitulah engkau, wahai Aa’ Gym, menamai. Membuat saya suka bernyanyi-nyanyi. Padahal nyanyian itu, setelah saya selidiki, dinyanyikan oleh Snada. Tapi yang masih saya ingat adalah suara anda.
Dengan media, Aa’ Gym mendapatkan kebesarannya. “Memalingkan” sebagian (kecil) orang yang lebih berilmu dan berwawasan tentang agama (islam) dan ajaran-ajarannya untuk “tidak mempertanyakan” kapasitas keilmuannya. Dan ummat pun terbius dengan ceramah-ceramahnya, khutbah-khutbahnya, nasihat-nasihatnya.
Lalu, muncullah poligami itu. Tak ada yang salah dan keliru dengan poligami. Aa’ Gym mau punya istri dua, tiga, atau empat, itu dibolehkan agama (Islam). Tak penting apakah bisa berbuat adil atau tidak, sebab itu perkara lain dari kebolehan hukum berpoligami. Mau janda cantik atau buruk rupa, terserahlah.
Lalu, sang Aa’ “dihancurkan” oleh media. Padahal, oleh media pula ia mendapatkan kebesarannya. Menjadi tenggelamlah Aa’ Gym. Lalu, Ahok muncul dengan kepedasan kata-katanya. Lalu, Aa’ Gym muncul kembali. Seperti “bangkit dari kuburnya”. Mendapatkan panggungnya kembali. Laris manis bak kacang goreng. Seperti gerimis yang menjadi badai hujan di siang bolong.
Pada ketika AA’ Gym mendadak muncul mengambil bagian dalam “memerangi” seorang “kafir” bernama Ahok, di sinilah saya benar-benar ngelu. Sebagai muslim yang masih jauh dari pengetahuan dan wawasan terhadap ajaran-ajaran agama ini, nalar sehat saya mengatakan bahwa Ahok bukanlah seorang penista. Sebaliknya, Ahok-lah yang justru dinista. Saya telah jelaskan perkara ini dalam tulisan-tulisan saya terdahulu. Aa’ Gym si “managemen Qolbu”, mendadak menjadi garang dan sarat dengan emosi—suatu keadaan yang bertolak belakang dan berbalik 180 derajat. Ada apa denganmu, wahai Aa’?
Hukum kita, sebagai muslim, menyatakan bahwa seseorang yang diam terhadap kezaliman sama halnya dengan melakukan kezaliman itu sendiri. Maka, bagaimana jika seseorang itu justru berada dalam barisan kezaliman itu sendiri? Saya jaga pikiran baik saya bahwa seorang Aa’ Gym tentulah figur yang mudah menangis bila melihat masjid-masjid dipergunakan untuk mengobarkan api kebencian. Seorang Aa’ Gym sepantasnya menangis bila melihat jenazah kaum muslim ditolak untuk dirawat oleh saudaranya sendiri. Seorang Aa’ Gym seharusnya menangis melihat perilaku brutal dan bringas ormas Islam.
Tetapi bagaimana bisa seorang Aa’ Gym justru berada pada barisan yang sama dengan mereka yang seharusnya air mata ini jatuh untuk menangisinya? Ya, Allah, rasanya saya hendak menyanyi lagi:
Jagalah hati jangan kau kotori
Jagalah hati lentera hidup ini
Jagalah hati jangan kau nodai
Jagalah hati cahaya Ilahi
Bila hati kian bersih
Pikiranpun akan jernih
Semangat hidup nan gigih
Prestasi mudah diraih
Namun bila hati keruh
Batin selalu gemuruh
Seakan di kejar musuh
Dengan Alloh kian jauh Pada ketika AA’ Gym mendadak muncul mengambil bagian dalam “memerangi” seorang “kafir” bernama Ahok, di sinilah saya benar-benar ngelu. Sebagai muslim yang masih jauh dari pengetahuan dan wawasan terhadap ajaran-ajaran agama ini, nalar sehat saya mengatakan bahwa Ahok bukanlah seorang penista. Sebaliknya, Ahok-lah yang justru dinista. Saya telah jelaskan perkara ini dalam tulisan-tulisan saya terdahulu. Aa’ Gym si “managemen Qolbu”, mendadak menjadi garang dan sarat dengan emosi—suatu keadaan yang bertolak belakang dan berbalik 180 derajat. Ada apa denganmu, wahai Aa’?
Hukum kita, sebagai muslim, menyatakan bahwa seseorang yang diam terhadap kezaliman sama halnya dengan melakukan kezaliman itu sendiri. Maka, bagaimana jika seseorang itu justru berada dalam barisan kezaliman itu sendiri? Saya jaga pikiran baik saya bahwa seorang Aa’ Gym tentulah figur yang mudah menangis bila melihat masjid-masjid dipergunakan untuk mengobarkan api kebencian. Seorang Aa’ Gym sepantasnya menangis bila melihat jenazah kaum muslim ditolak untuk dirawat oleh saudaranya sendiri. Seorang Aa’ Gym seharusnya menangis melihat perilaku brutal dan bringas ormas Islam.
Tetapi bagaimana bisa seorang Aa’ Gym justru berada pada barisan yang sama dengan mereka yang seharusnya air mata ini jatuh untuk menangisinya? Ya, Allah, rasanya saya hendak menyanyi lagi:
Jagalah hati jangan kau kotori
Jagalah hati lentera hidup ini
Jagalah hati jangan kau nodai
Jagalah hati cahaya Ilahi
Bila hati kian bersih
Pikiranpun akan jernih
Semangat hidup nan gigih
Prestasi mudah diraih
Namun bila hati keruh
Batin selalu gemuruh
Seakan di kejar musuh
Dengan Alloh kian jauh
Pada ketika AA’ Gym mendadak muncul mengambil bagian dalam “memerangi” seorang “kafir” bernama Ahok, di sinilah saya benar-benar ngelu. Sebagai muslim yang masih jauh dari pengetahuan dan wawasan terhadap ajaran-ajaran agama ini, nalar sehat saya mengatakan bahwa Ahok bukanlah seorang penista. Sebaliknya, Ahok-lah yang justru dinista. Saya telah jelaskan perkara ini dalam tulisan-tulisan saya terdahulu. Aa’ Gym si “managemen Qolbu”, mendadak menjadi garang dan sarat dengan emosi—suatu keadaan yang bertolak belakang dan berbalik 180 derajat. Ada apa denganmu, wahai Aa’?
Hukum kita, sebagai muslim, menyatakan bahwa seseorang yang diam terhadap kezaliman sama halnya dengan melakukan kezaliman itu sendiri. Maka, bagaimana jika seseorang itu justru berada dalam barisan kezaliman itu sendiri? Saya jaga pikiran baik saya bahwa seorang Aa’ Gym tentulah figur yang mudah menangis bila melihat masjid-masjid dipergunakan untuk mengobarkan api kebencian. Seorang Aa’ Gym sepantasnya menangis bila melihat jenazah kaum muslim ditolak untuk dirawat oleh saudaranya sendiri. Seorang Aa’ Gym seharusnya menangis melihat perilaku brutal dan bringas ormas Islam.
Tetapi bagaimana bisa seorang Aa’ Gym justru berada pada barisan yang sama dengan mereka yang seharusnya air mata ini jatuh untuk menangisinya? Ya, Allah, rasanya saya hendak menyanyi lagi:
Jagalah hati jangan kau kotori
Jagalah hati lentera hidup ini
Jagalah hati jangan kau nodai
Jagalah hati cahaya Ilahi
Bila hati kian bersih
Pikiranpun akan jernih
Semangat hidup nan gigih
Prestasi mudah diraih
Namun bila hati keruh
Batin selalu gemuruh
Seakan di kejar musuh
Dengan Alloh kian jauh
Sungguh, saya bingung. Seorang sahabat yang hati saya sedang dekat dengan hatinya suka berseloroh bahwa jika kita bingung, berpeganglah. Tetapi saya mau berpegang dengan apa? Dengan siapa? Melihat “ustadz” atau “kiyai” Aa’ Gym yang menjadi seperti ini? Bagaimana mungkin saya tidak mempertanyakan siapa sesungguhnya Tuhan yang disembah dan diibadahi oleh Aa’ Gym, sedangkan antara saya dan dia sama-sama percaya kepada satu Tuhan?
Tidak mungkin! Sepertinya, Tuhan saya dan Tuhan Aa’ Gym jauh berbeda. Walau kita sama-sama muslim. Jika Tuhan saya dan Tuhan Aa’ Gym itu sama, tentu Aa’ Gym akan berada pada barisan saya, atau saya berada pada barisannya. Atau, kemungkinan lain: Tuhan kita sama, tetapi AA’ Gym telah menyimpang dari jalan Tuhannya. Supaya adil: Kalau bukan Aa’ Gym yang menyimpang dari jalan Tuhannya, maka sayalah yang telah menyimpang dari jalan itu.
Namun karena masalah tentang Tuhan ini adalah suatu yang sangat abstrak, baiklah Aa’, kelak di akhirat kita akan mempertanggungjawabkan sikap dan perbuatan kita masing-masing. Siapakah yang benar atau salah antara kita berdua, kita tunduk dan patuh pada keputusan Tuhan, kelak. Mari kita tidak menggunakan pendekatan keTuhanan dan kita pilih dengan pendekatan rasio saja.
Secara rasional, protes terhadap video kampanye Ahok itu tak sesuai dengan konsepsi “managemen qolbu”. Perkataan anda yang seperti ini: “Tak pernah kami mengatakan ganyang Cina sekalipun berjuta-juta umat Islam berkumpul, bahkan kami menghormati, mengapa membuat video Fitnah ini?”, sungguh merupakan fitnah itu sendiri. Saya yakin, anda memang tak pernah berteriak “ganyang China”, tetapi ummat anda? Saudara-saudara anda yang brutal dan bengis di jalan-jalan itu? Secara rasio, anda, wahai Aa’ Gym, sudah tak rasional sama sekali.
Entah karena apa anda bisa berubah seperti ini. Karena Tuhan? Allah-kah yang menyuruh anda hingga menjadi orang seperti sekarang ini? Jika itu jawaban anda, terpaksa saya harus berkata lagi bahwa walau kita sama-sama muslim, Tuhan anda dan Tuhan saya berbeda sekali.
https://seword.com/politik/aa-gym-siapakah-tuhanmu-itu/
Saya jadi teringat kembali dengan salah satu buku yang saya tulis. Judulnya “Kidung Sholawat Zaki dan Zulfa”. Dalam buku ini, saya angkat dua sosok “kiyai” yang memiliki jalan hidup berbeda. Jalan hidup itu adalah pilihan masing-masing. Kiyai pertama, memilih jalan para pecinta, zuhud terhadap dunia, lapar kepada ridlo dan kasih Tuhan, hidup berdekatan dengan kaum mustadh’afin, tak bermain politik, dan tak ada pejabat-politisi-pengusaha dan orang-orang “wah” lain yang sudi mendekatinya.
Bertolak belakang dengan kiyai yang pertama ini, kiyai kedua sangatlah modis. Modern-lah. Kaya. Banyak menerima tamu, dari pejabat, politisi, hingga konglomerat. Suatu ketika kiyai ini harus menghadapi dilema batin. Seorang pengusaha bermaksud mengembangkan proyeknya, dan kongkalikong dengan pejabat setempat, untuk menggusur warga yang tinggal di seputaran pesantren kiyai yang pertama. Mudah ditebak, memang, jalan cerita dan kisah yang terjadi kemudian. Tetapi inti yang hendak saya maksud melalui cerita itu: Sering terjadi bahwa seseorang dapat dengan mudah menghancurkan idealismenya, kepercayaannya, keyakinannya, bahkan Tuhannya karena ia tidak bisa keluar dari lingkaran api yang ia kobarkan sendiri.
Apakah seperti itu yang terjadi dengan “kiyai” atau “ustadz” bernama Aa’ Gym ini? Oleh media, dulu, betapa ia dikenal dan menjadi popular namanya. Ceramah-ceramahnya yang sejuk, mendinginkan suasana di tengah gejolak emosi dimana-mana, praktis bahasanya yang tak muluk-muluk macam filosof yang kebingungan terhadap dirinya sendiri, selalu mengajak para pendengarnya untuk menjaga hati. O, membuat saya hendak menyanyi lagi:
Jagalah hati jangan kau kotori
Jagalah hati lentera hidup ini
Jagalah hati jangan kau nodai
Jagalah hati cahaya Ilahi
Bila hati kian bersih
Pikiranpun akan jernih
Semangat hidup nan gigih
Prestasi mudah diraih
Namun bila hati keruh
Batin selalu gemuruh
Seakan di kejar musuh
Dengan Alloh kian jauh
Managemen Qolbu, begitulah engkau, wahai Aa’ Gym, menamai. Membuat saya suka bernyanyi-nyanyi. Padahal nyanyian itu, setelah saya selidiki, dinyanyikan oleh Snada. Tapi yang masih saya ingat adalah suara anda.
Dengan media, Aa’ Gym mendapatkan kebesarannya. “Memalingkan” sebagian (kecil) orang yang lebih berilmu dan berwawasan tentang agama (islam) dan ajaran-ajarannya untuk “tidak mempertanyakan” kapasitas keilmuannya. Dan ummat pun terbius dengan ceramah-ceramahnya, khutbah-khutbahnya, nasihat-nasihatnya.
Lalu, muncullah poligami itu. Tak ada yang salah dan keliru dengan poligami. Aa’ Gym mau punya istri dua, tiga, atau empat, itu dibolehkan agama (Islam). Tak penting apakah bisa berbuat adil atau tidak, sebab itu perkara lain dari kebolehan hukum berpoligami. Mau janda cantik atau buruk rupa, terserahlah.
Lalu, sang Aa’ “dihancurkan” oleh media. Padahal, oleh media pula ia mendapatkan kebesarannya. Menjadi tenggelamlah Aa’ Gym. Lalu, Ahok muncul dengan kepedasan kata-katanya. Lalu, Aa’ Gym muncul kembali. Seperti “bangkit dari kuburnya”. Mendapatkan panggungnya kembali. Laris manis bak kacang goreng. Seperti gerimis yang menjadi badai hujan di siang bolong.
Pada ketika AA’ Gym mendadak muncul mengambil bagian dalam “memerangi” seorang “kafir” bernama Ahok, di sinilah saya benar-benar ngelu. Sebagai muslim yang masih jauh dari pengetahuan dan wawasan terhadap ajaran-ajaran agama ini, nalar sehat saya mengatakan bahwa Ahok bukanlah seorang penista. Sebaliknya, Ahok-lah yang justru dinista. Saya telah jelaskan perkara ini dalam tulisan-tulisan saya terdahulu. Aa’ Gym si “managemen Qolbu”, mendadak menjadi garang dan sarat dengan emosi—suatu keadaan yang bertolak belakang dan berbalik 180 derajat. Ada apa denganmu, wahai Aa’?
Hukum kita, sebagai muslim, menyatakan bahwa seseorang yang diam terhadap kezaliman sama halnya dengan melakukan kezaliman itu sendiri. Maka, bagaimana jika seseorang itu justru berada dalam barisan kezaliman itu sendiri? Saya jaga pikiran baik saya bahwa seorang Aa’ Gym tentulah figur yang mudah menangis bila melihat masjid-masjid dipergunakan untuk mengobarkan api kebencian. Seorang Aa’ Gym sepantasnya menangis bila melihat jenazah kaum muslim ditolak untuk dirawat oleh saudaranya sendiri. Seorang Aa’ Gym seharusnya menangis melihat perilaku brutal dan bringas ormas Islam.
Tetapi bagaimana bisa seorang Aa’ Gym justru berada pada barisan yang sama dengan mereka yang seharusnya air mata ini jatuh untuk menangisinya? Ya, Allah, rasanya saya hendak menyanyi lagi:
Jagalah hati jangan kau kotori
Jagalah hati lentera hidup ini
Jagalah hati jangan kau nodai
Jagalah hati cahaya Ilahi
Bila hati kian bersih
Pikiranpun akan jernih
Semangat hidup nan gigih
Prestasi mudah diraih
Namun bila hati keruh
Batin selalu gemuruh
Seakan di kejar musuh
Dengan Alloh kian jauh Pada ketika AA’ Gym mendadak muncul mengambil bagian dalam “memerangi” seorang “kafir” bernama Ahok, di sinilah saya benar-benar ngelu. Sebagai muslim yang masih jauh dari pengetahuan dan wawasan terhadap ajaran-ajaran agama ini, nalar sehat saya mengatakan bahwa Ahok bukanlah seorang penista. Sebaliknya, Ahok-lah yang justru dinista. Saya telah jelaskan perkara ini dalam tulisan-tulisan saya terdahulu. Aa’ Gym si “managemen Qolbu”, mendadak menjadi garang dan sarat dengan emosi—suatu keadaan yang bertolak belakang dan berbalik 180 derajat. Ada apa denganmu, wahai Aa’?
Hukum kita, sebagai muslim, menyatakan bahwa seseorang yang diam terhadap kezaliman sama halnya dengan melakukan kezaliman itu sendiri. Maka, bagaimana jika seseorang itu justru berada dalam barisan kezaliman itu sendiri? Saya jaga pikiran baik saya bahwa seorang Aa’ Gym tentulah figur yang mudah menangis bila melihat masjid-masjid dipergunakan untuk mengobarkan api kebencian. Seorang Aa’ Gym sepantasnya menangis bila melihat jenazah kaum muslim ditolak untuk dirawat oleh saudaranya sendiri. Seorang Aa’ Gym seharusnya menangis melihat perilaku brutal dan bringas ormas Islam.
Tetapi bagaimana bisa seorang Aa’ Gym justru berada pada barisan yang sama dengan mereka yang seharusnya air mata ini jatuh untuk menangisinya? Ya, Allah, rasanya saya hendak menyanyi lagi:
Jagalah hati jangan kau kotori
Jagalah hati lentera hidup ini
Jagalah hati jangan kau nodai
Jagalah hati cahaya Ilahi
Bila hati kian bersih
Pikiranpun akan jernih
Semangat hidup nan gigih
Prestasi mudah diraih
Namun bila hati keruh
Batin selalu gemuruh
Seakan di kejar musuh
Dengan Alloh kian jauh
Pada ketika AA’ Gym mendadak muncul mengambil bagian dalam “memerangi” seorang “kafir” bernama Ahok, di sinilah saya benar-benar ngelu. Sebagai muslim yang masih jauh dari pengetahuan dan wawasan terhadap ajaran-ajaran agama ini, nalar sehat saya mengatakan bahwa Ahok bukanlah seorang penista. Sebaliknya, Ahok-lah yang justru dinista. Saya telah jelaskan perkara ini dalam tulisan-tulisan saya terdahulu. Aa’ Gym si “managemen Qolbu”, mendadak menjadi garang dan sarat dengan emosi—suatu keadaan yang bertolak belakang dan berbalik 180 derajat. Ada apa denganmu, wahai Aa’?
Hukum kita, sebagai muslim, menyatakan bahwa seseorang yang diam terhadap kezaliman sama halnya dengan melakukan kezaliman itu sendiri. Maka, bagaimana jika seseorang itu justru berada dalam barisan kezaliman itu sendiri? Saya jaga pikiran baik saya bahwa seorang Aa’ Gym tentulah figur yang mudah menangis bila melihat masjid-masjid dipergunakan untuk mengobarkan api kebencian. Seorang Aa’ Gym sepantasnya menangis bila melihat jenazah kaum muslim ditolak untuk dirawat oleh saudaranya sendiri. Seorang Aa’ Gym seharusnya menangis melihat perilaku brutal dan bringas ormas Islam.
Tetapi bagaimana bisa seorang Aa’ Gym justru berada pada barisan yang sama dengan mereka yang seharusnya air mata ini jatuh untuk menangisinya? Ya, Allah, rasanya saya hendak menyanyi lagi:
Jagalah hati jangan kau kotori
Jagalah hati lentera hidup ini
Jagalah hati jangan kau nodai
Jagalah hati cahaya Ilahi
Bila hati kian bersih
Pikiranpun akan jernih
Semangat hidup nan gigih
Prestasi mudah diraih
Namun bila hati keruh
Batin selalu gemuruh
Seakan di kejar musuh
Dengan Alloh kian jauh
Sungguh, saya bingung. Seorang sahabat yang hati saya sedang dekat dengan hatinya suka berseloroh bahwa jika kita bingung, berpeganglah. Tetapi saya mau berpegang dengan apa? Dengan siapa? Melihat “ustadz” atau “kiyai” Aa’ Gym yang menjadi seperti ini? Bagaimana mungkin saya tidak mempertanyakan siapa sesungguhnya Tuhan yang disembah dan diibadahi oleh Aa’ Gym, sedangkan antara saya dan dia sama-sama percaya kepada satu Tuhan?
Tidak mungkin! Sepertinya, Tuhan saya dan Tuhan Aa’ Gym jauh berbeda. Walau kita sama-sama muslim. Jika Tuhan saya dan Tuhan Aa’ Gym itu sama, tentu Aa’ Gym akan berada pada barisan saya, atau saya berada pada barisannya. Atau, kemungkinan lain: Tuhan kita sama, tetapi AA’ Gym telah menyimpang dari jalan Tuhannya. Supaya adil: Kalau bukan Aa’ Gym yang menyimpang dari jalan Tuhannya, maka sayalah yang telah menyimpang dari jalan itu.
Namun karena masalah tentang Tuhan ini adalah suatu yang sangat abstrak, baiklah Aa’, kelak di akhirat kita akan mempertanggungjawabkan sikap dan perbuatan kita masing-masing. Siapakah yang benar atau salah antara kita berdua, kita tunduk dan patuh pada keputusan Tuhan, kelak. Mari kita tidak menggunakan pendekatan keTuhanan dan kita pilih dengan pendekatan rasio saja.
Secara rasional, protes terhadap video kampanye Ahok itu tak sesuai dengan konsepsi “managemen qolbu”. Perkataan anda yang seperti ini: “Tak pernah kami mengatakan ganyang Cina sekalipun berjuta-juta umat Islam berkumpul, bahkan kami menghormati, mengapa membuat video Fitnah ini?”, sungguh merupakan fitnah itu sendiri. Saya yakin, anda memang tak pernah berteriak “ganyang China”, tetapi ummat anda? Saudara-saudara anda yang brutal dan bengis di jalan-jalan itu? Secara rasio, anda, wahai Aa’ Gym, sudah tak rasional sama sekali.
Entah karena apa anda bisa berubah seperti ini. Karena Tuhan? Allah-kah yang menyuruh anda hingga menjadi orang seperti sekarang ini? Jika itu jawaban anda, terpaksa saya harus berkata lagi bahwa walau kita sama-sama muslim, Tuhan anda dan Tuhan saya berbeda sekali.
https://seword.com/politik/aa-gym-siapakah-tuhanmu-itu/
NB: Artikel ini dibuat oleh Siska Suhendra dengan tanggungjawab penuh diserahkan kepada Siska Suhendra. Pihak dari situs Forumdjakarta.com tidak bertanggungjawab atas isi dari artikel ini.
(Sumber :Itusalah.com)
Komentar
Posting Komentar